Minggu, 13 Mei 2012

Antihistamin


FARMAKOLOGI
ANTIHISTAMIN



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH S.W.T, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita bersama sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa rintangan yang berarti.
Dan tak lupa pula salawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad S.A.W yang telah menjadi suri tauladan bagi kita. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dosen yang telah memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Makalah ini dapat dipergunakan bagi pembaca sesuai dengan kebutuhan ataupun keperluan.



Padang, November  2011

             penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
2.      Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Antihistamin
B.     Macam-macam Antihistamin
C.     Mekanisme Kerja
D.    Efek Samping
E.     Kontraindikasi
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan
2.      Saran
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
    Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistami. Sejak itu secara luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi.Pada umumnya antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1) klasik. Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping,mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang.Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah.
B.     Tujuan
Untuk mengetahui manfaat dari antihistamin serta macam-macam antihistamin yang digunakan untuk mengatasi penyakit alergi dan juga untuk mengetahui efek samping yang ditimbulkan oleh obat antihistamin supaya antihistamin tidak disalahgunakan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Atihistamin

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas. Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.

B.  Macam-macam Antihistamin

1.      Antihistamin (AH1) non sedatif
a.      Terfenidin
           Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai mula kerja yang cepat dan lama kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi melalui faeces (60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg diberikan 2 X sehari.
b.       Astemizol
            Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol, struktur kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah akandicapai setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20 hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6% obat ini dalam urine. Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.
c.       Mequitazin
Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya cepat pada pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat, duration of action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).
d.      Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1 meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.

2.      Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamin.
1. Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
2. Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
3. Antagonis Reseptor Histamin H3

Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
4. Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.


C. Mekanisme kerja

Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada 3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine. Yang paling sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk klorfeniramin maleat). Antihistamin menghambat efek histamin pada reseptor H1. Tidak menghambat pelepasan histamin, produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi. Kebanyakan antihistamin memiliki sifat antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi, mata kering, dan penglihatan kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi. Beberapa fenotiazin mempunyai sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki kefek antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal
 2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin sehinnga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya sama denfan AH 1.
D.  Efek samping

Promethazine, antihistamin jenis fenotiazin yang digunakan secara luas karena sifat  antimuntah dan penenang yang dimilikinya, telah dilaporkan menyebabkan agitasi, halusinasi, kejang, reaksi distonik, sudden infant death syndrome, dan henti napas. Efek samping ini umumnya lebih berat dan signifikan pada bayi, sehingga pabrik pembuatnya memperingatkan agar tidak diberikan pada anak di bawah usia 2 tahun. Namun, efektivitas promethazine sebagai sedatif (penenang) dapat disalahgunakan oleh orang tua untuk menangani anak yang berteriak-teriak. Antihistamin generasi kedua mempunyai efek samping antikolinergik lebih sedikit dan dianggap tidak menimbulkan efek sedatif pada anak dalam dosis terapi.

• Efek sedasi, dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2x50 mg dengan loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup diberikan sekali dalam sehari.

• Gangguan psikomotor yaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang menjadi perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa mengantuk). Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa loratadin tidak mengganggu kemampuan mengendarai dan tidak memperkuat efek alkohol.
• Gangguan kognitif adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin meniadakan efek negative dari rhinitis alergi terhadap kemampuan belajar. Dengan menggunakan loratadin tampaknya memperbaiki kemampuan belajar anak, penderita rhinitis alergi.


• Efek kardiotoksisitas, antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas). Namun dari hasil penelitian, loratadin merupakan antihistamin yang tidak berhubungan dari serangan kardiovaskuler yang membahayakan jiwa itu.
Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan antihistamin, karena beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk), gangguan psikomotor,dan gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang melakukan pekerjaan dengan tingkat kewaspadaan tinggi sangat berbahaya.Untuk itu pasien yang aktif bekerja sebaiknya gunakan antihistamin yang aman dan efektif seperti loratadin, sudah terbukti tidak menimbulkan sedasi, tidak mengakibatkan terganggunya fungsi psikomotor dan fungsi kognitif. Juga terbukti aman tidak menyebabkan kardiotoksisitas dan efektif karena cukup diminum 1x sehari, karena memiliki masa kerja yang panjang serta diabsorbsi secara cepat.
Antihistamin Generasi Pertama:
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat – drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal – epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal    spray)


Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga:
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP* – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** – mulut kering
4. Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)

*Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. **Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama.


E.  Kontraindikasi

Hipersensitivitas dan glaucoma sudut sempit. Jangan digunakan pada bayi baru lahir dan premature. Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua. Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
B.     Saran

















DAFTAR PUSTAKA

http://habib.blog.ugm.ac.id/kuliah/histamin-dan-antihistamin/





                                      

PONED



ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PONED




Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya serta hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan pada penulis,  sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar”. Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah ILMU KESEHATAN MASYARAKAT.
            Terakhir penulis menyampaikan harapan, semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk  peningkatan kemampuan untuk memperbaiki etika sebagai tenaga kesehatan dimasa yang akan datang.


                                                                                                   Padang, maret 2012

                                                                                                                Penulis



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, merupakan suatu masalah yang sejak tahun 1990-an mendapat perhatian besar dari berbagai pihak. AKI di Indonesia tahun 2003 adalah 307/100.000 kelahiran hidup dan penurunan AKI pada tahun tersebut mencapai 32% dari kondisi tahun 1990. Keadaan ini masih jauh dari target harapan yaitu 75% atau 125/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 35/1000 kelahiran hidup pada tahun 2010 (Dinas kesehatan Provinsi Lampung, 2006 : 1).Penyebab kematian ibu adalah komplikasi pada kehamilan, persalinan dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu. Menurut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 sebab kematian ibu karena perdarahan 28%, eklamsi 24%, infeksi 11%, komplikasi puerperium 8%, emboli Obstetri 3% dan lain-lain 11%. Sedangkan penyebab kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian minum 10%, tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13% (Rachmawaty, 2006 : 1)Upaya menurunkan AKI dan AKB beberapa upaya telah dilakukan. Upaya tersebut diantaranya adalah mulai tahun 1987 telah dimulai program safe motherhood dan mulai tahun 2001 telah dilancarkan Rencana Strategi Nasional making pregnancy safer (MPS). Adapun pesan kunci MPS adalah : (1) Setiap persalinan, ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; (2) Setiap komplikasi Obstetri dan neonatal mendapatkan pelayanan yang adekuat; (3) Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Realisasi dari MPS tersebut di tingkat Puskesmas yang mempunyai dokter umum dan bidan, khususnya puskesmas dengan rawat inap dikembangkan menjadi Puskesmas mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) (Koesno, 2004 : 3).Puskesmas mampu PONED menjadi tempat rujukan terdekat dari desa sebagai pembina bidan dan mendekatkan akses pelayanan kegawatdaruratan pada ibu hamil dan bersalin karena komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak dapat diduga atau diramalkan sebelumnya (Dinas Kesehatan Provinsi 2006 : 1). Pengembangan Puskesmas mampu PONED dengan melatih tenaga dokter, perawat dan bidan serta melengkapi sarana dan prasarana sesuai syarat-syarat yang telah ditetapkan diharapkan dapat mencegah dan menangani komplikasi kehamilan dan persalinan sehingga dapat menurunkan AKI dan AKB. Puskesmas Perawatan Panjang Kota dengan cakupan ibu hamil resiko tinggi 228 orang dari 1140 ibu hamil pada tahun 2006, (Laporan Puskesmas Rawat Inap KP Kotamadya Bandar Lampung 2007 : 1). Maka dari hasil evaluasi tahun 2006 Puskesmas Panjang ditunjuk untuk dikembangkan menjadi Puskesmas mampu PONED sejak bulan Oktober 2006 (Laporan Puskesmas Perawatan Panjang  2006 : Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul  Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas









BAB II
Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial dasar (PONED)

A.  Pengertian PONED
. Polindes dan puskesmas non perawatan disipakan untuk mealkukuan pertolongan pertama gawat darurat obstetri dan neonatal (PPGDON) dan tidak disiapkan untuk melakukan PONED. PONED merupakan kepanjangan dari Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial Dasar. PONED dilakukan di Puskesmas induk dengan pengawasan dokter. Petugas kesehatan yang boleh memberikan PONED yaitu dokter, bidan, perawat dan tim PONED Puskesmas beserta penanggung jawab terlatih.
Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial  Dasar dapat dilayani oleh puskesmas yang mempunyai fasilitas atau kemampuan untuk penangan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar. Puskesmas PONED merupakan puskesmas yang siap 24 jam, sebagai rujukan antara kasus-kasus rujukan dari polindes dan puskesmas.

B.      Batasan Dalam PONED :
Dalam PONED bidan boleh memberikan
a.       Injeksi antibiotika
b.      Injeksi uterotonika
c.       Injeksi sedative
d.      Plasenta manual
e.       Ekstraksi vacuum
f.       Tranfusi darah
g.      Operasi SC

C.      Indikator kelangsungan dari PUSKESMAS PONED adalah :
·         Kebijakan tingkat PUSKESMAS
·         SOP (Sarana Obat Peralatan)
·         Kerjasama RS PONED
·         Dukungan Diskes
·         Kerjasama SpOG
·         Kerjasama bidan desa
·         Kerjasama Puskesmas Non PONED
·         Pembinaan AMP
·         Jarak Puskesmas PONED dengan RS

D.      Kriteria Rumah Sakit PONED yaitu :
·         Ada rawat inap
·         Ada Puskesmas binaan – Rumah Sakit tipe C

E.       Tujuan PONED
PONED diadakan bertujuan untuk menghindari rujukan yang lebih dari 2 jam dan untuk memutuskan mata rantai rujukan itu sendiri.



F.       Hambatan dan Kendala dalam penyelenggaraan PONED
Hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan PONED dan yaitu :
1.Mutu SDM yang rendah
2.Sarana prasarana yang kurang
3.Ketrampilan yang kurang
4.Koordinasi antara Puskesmas PONED dan RS PONEK dengan Puskesmas Non PONED belum maksimal
5.Kebijakan yang kontradiktif (UU Praktek Kedokteran)
6.Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memada

G.     Tugas Puskesmas PONED
  1. Menerima rujukan dari fasilitas rujukan dibawahnya, Puskesmas pembantu dan Pondok bersalin Desa
  2. Melakukan pelayanan kegawatdaruratan obstetrik neonatal sebatas wewenang
  3. Melakukan rujukan kasus secara aman ke rumah sakit dengan penanganan pra hospital.
H.     Syarat Puskesmas Poned
  1. Pelayanan buka 24  jam
  2. Mempunyai Dokter, bidan, perawat  terlatih PONED dan siap melayani 24 jam
  3. Tersedia alat transportasi siap 24  jam
  4. Mempunyai hubungan kerjasama dengan Rumah Sakit terdekat dan Dokter Spesialis Obgyn dan spesialis anak sebagai                                                                                                     
I.        Petugas pelaksana PONED :
    1. Dokter umum  2 orang
    2. Bidan  8 orang
    3. Perawat
    4. Petugas yang telah mendapat pelatihan PONED :
J.        Pelayanan yang dilaksanakan
Pelayanan PONED
1)      Pelayanan KIA/KB
2)      Pelayanan ANC & PNC
3)      Pertolongan Persalinan normal
4)      Pendeteksian Resiko tinggi Bumil
5)      Penatalaksanaan Bumil Resti
6)      Perawatan Bumil sakit           
7)      Persalinan Sungsang                      
8)      Partus Lama                                   
9)      KPD                                            
10)  Gemeli                              
11)  Pre Eklamsia                     
12)  Perdarahan Post Partum
13)  Ab. Incomplitus
14)  Distosia Bahu
15)  Asfiksia
16)  BBLR
17)  Hypotermia
18)  Komponen pelayanan maternal
·         Pre eklamsia/eklamsia
·         Tindakan obstetri pada pertolongan persalinan
·         Perdarahan postpartum
·         Infeksi nifas
19)  Komponen pelayanan neonatal
·         Bayi berat lahir rendah
·         Hipotermi
·         Hipoglikemi
·         Ikterus/hiperbilirubinemia
·         Masalah pemberian nutrisi
·         Asfiksia pada bayi
·         Gangguan nafas
·          Kejang pada bayi baru lahir
·         Infeksi neonatal
·          Rujukan dan transportasi bayi baru lahir

K.      Faktor pendukung keberhasilan PONED Puskesmas antara lain
1)      Adanya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JKRS, Jamkesmas)
2)      Sistem rujukan yang mantap dan berhasil
3)      Peran serta aktif bidan desa
4)      Tersedianya sarana/prasarana, obat dan bahan habis pakai
5)       Peran serta masyarakat, LSM, lintas sektoral dan Stage Holder yang harmonis.
6)      Peningkatan mutu pelayanan perlu menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan standart pelayanan minimal

Fasilitas dan sumber daya pada level pelayanan kesehatan

Tempat
Level
SDM
Jenis Pelayanan
Polindes
I
Bidan/ bidan desa
Asuhan bayi baru lahir normal resusitasi
Puskesmas dengan Rawat Inap
I
Bidan/perawat
Dokter umum
Asuhan bayi baru lahir normal
Resusitasi
Gangguan nafas ringan
Hipotermi
Hiperbilirubinemia
Kejang
Masalah pemberian ASI (konseling)
BBLR > 1750 gr
Hipoglikemi
Infeksi ringan
Diare dengan dehidrasi ringan
Rumah Sakit Rujukan
2
Bidan/perawat
Dokter
Dokter spesialis
Asuhan bayi baru lahir normal
Resusitasi
Gangguan nafas sedang-berat
Hipotermi
Hiperbilirubinemia
Kejang
Masalah pemberian ASI (konseling)
BBLR < 1750 gr
Hipoglikemi
Infeksi sedang - berat
Diare dengan dehidrasi sedang -berat
syok













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
PONED merupakan kepanjangan dari Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial Dasar. PONED dilakukan di Puskesmas induk dengan pengawasan dokter. Petugas kesehatan yang boleh memberikan PONED yaitu dokter, bidan, perawat dan tim PONED Puskesmas beserta penanggung jawab terlatih. Dalam PONED bidan boleh memberikan
1.Injeksi antibiotika
2.Injeksi uterotonika
3.Injeksi sedative
4.Plasenta manual
5.Ekstraksi vacuum

B.    Saran
Dengan penulisan makalah ini penulis berharap pembaca bisa memanfaatkan makalah ini dengan sebaik-baiknya.







DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta
Syafrudin 2009 Kebidanan Komunitas Jakarta Penerbit Buku Kedokteran